BANDARLAMPUNG : Krisis listrik di Provinsi Lampung kian memuncak setelah terjadinya perdebatan sengit antara Perusahaan Listrik Negara (PLN) Distribusi Lampung dengan PT Sugar Group Company (SGC). 

Perseteruan ini seperti memunculkan konflik kepentingan diantara keduanya, meski pada akhirnya masyarakat Lampung juga yang jadi korban.

Jika dirunut, persoalan krisis listrik yang terjadi di Provinsi Lampung ini diduga karena tidak diberikannya izin kepada PLN untuk membangun menara Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) oleh PT SGC.

Perdebatan antara dua gajah ini terlontar dalam pertemuan di Kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lampung pada Jum’at (18/3).

Dalam pada itu, General Manager PLN Distribusi Lampung, Irwansyah Saputra mengaku pihaknya sudah berusaha sejak tahun 2008 untuk memperbaiki defisit listrik.

Rencana tersebut pembangunan SUTET, kata Irwansyah tidak kunjung terealisasi tiga faktor diantaranya ketahanan pangan, energi, dan udara.

“Jalur pembangunan yang sudah diskusikan serta diizinkan pada 20 Maret 2015 lalu dan melintasi pertengahan PT Sweet Indo Lampung (SIL) sudah tidak berlaku lagi. Tapi, kami tidak tinggal diam dan mencoba terus mencari jalan keluar. Salah satunya pembangunan jalur bawah tanah (underground),” jelas Irwansyah, Jum’at (18/03/2016).

Dikatakan Irwansyah, pembangunan jalur underground juga bukan berarti tidak memiliki masalah. Di sini, PLN harus mengeluarkan biaya hampir Rp900 miliar, untuk melewati PT SIL. Menurutnya, ini pun masih tahap negosiasi.

Jika pembangunan sutet terealisasi sesuai jalur kesepakatan tahun 2015 i, perusahaan anak perusahaan SGC itu beralasan menara itu nantinya berpotensi mengganggu pekerja.

“Jika kembali melihat dalam kesepakatan bulan April itu juga, jalur T 146 hingga T 146 U juga menemui kendala. Jalur ini melintasi border lahan Astra Ksetra milik TNI Angkatan Udara. Dan ini dapat mengganggu latihan pesawat milik TNI. Bagaimana kalau terjadi kecelakaan pesawat,” jelasnya.

Sementara itu, dari pihak PT SGC, Heru Sapto mengatakan fakta yang terjadi di lapangan terkait pembebasan lahan tidak sepenuhnya hanya tersendat di PT SGC.
Menurut Heru, permasalahan yang terjadi sebenarnya, PT SGC sudah memberikan izin, namun eksekusi berada sepenuhnya di tangan PLN.
Itu terkait titik pembangunan tower SUTET, karena PLN menginginkan pembangunannya melewati jalur tengah perkebunan.

“Tapi, kami menolak dengan alasan keamanan pekerja. Di situ kan ada asuransi dan premi kecelakaan. Jika terjadi kecelakaan siapa yang bertangung jawab. PLN dan SGC tidak mau bertanggung jawab untuk pembayaran tersebut.

“ Tetapi jika ingin melintasi pertengahan kebun, itu diperbolehkan asalkan melalui jalur bawah tanah. Tapi, hal ini terkendala dengan biaya hingga mencapai Rp900 miliar yang tidak disanggupi PLN,” imbuh Heru.

Heru menegaskan, PLN jangan merasa mudah dan gampang terkait pembebasan. Lahan tebu juga memiliki kepentingan hajat hidup orang banyak.

“Ini menyangkut masalah hidup seseorang, jangan asal lewat dan bergerak. Itu kan artinya sama saja dengan arogansi,” kata Heru.

Diskusi tersebut turut dihadiri Manager Comunity Development PT SGC Agung Rusyanto, General Fair SGC Saiful, Ketua YLKI Lampung Subadra Yani Mursalin, Wakil Bupati Tulangbawang Heri Wardoyo, Anggota Komisi VI DPR RI Dwi Aroem Hadiati, Anggota DPRD Lampung Joko Santoso, Anggota Walhi Lampung Firman Seponada.

Selain itu, hadir juga Ketua AJI Bandar Lampung Yoso Muliawan, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung Alian Setiadi, serta Anggota Ombudsman Lampung Hardian Ruswan dan Wahyu Sasongko, Dosen Fakultas Hukum Unila.(r/n)