BANDARLAMPUNG
(PeNa)-Perseteruan Herman HN dengan Wakil Walikota M.Yusuf Kohar terus menuai atensi publik. Penyebab Disharmonisasi yang terjadi
antara keduanya disinyalir karena perbedaan kepentingan dalam pengelolaan pemerintahan,
tidak terbangunnya komunikasi politik yang baik antara Walikota dan Wakil itu
justru akhirnya meniadakan semangat kebersamaan dalam menggerakan laju
pembangunan Kota Bandar Lampung.
Yang menjadi pertanyaan publik bagaiamana
mungkin pembangunan akan berjalan dengan baik jika kedua pemimpinnya saling
berseteru.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Lampung (Unila) Syarif Mahya berpendapat, dalam
struktur pemerintahan yang berlaku saat ini kepala daerah memiliki kewenangan
mutlak dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Kendati demikian menurutnya
penyelenggaran pemerintahan akan lebih efektif jika Wakil Walikota difungsikan
dengan pembagian kerja pada aspek tertentu yang didelegasikan oleh Walikota.
“ Wakil Walikota cenderung melihat dalam perspektif kepentingan
efisiensi, ekonomi. Sementara Herman HN
lebih mengedepankan prinsip efektifitas dan pengalaman sehingga dianggap boros
dan sebagainya. Sebenarnya akan lebih baik jika mereka berdua mampu menjalankan
roda pemerintahaan meski ada paradigma yang berbeda antara Herman HN dan Yusuf
Kohar,”jelasnya,Jum’at (10/3).
Dikatakannya,disharmonisasi
itu akan terus terjadi jika tidak ada orang ketiga yang mengambil inisiatif
untuk membangun komunikasi antara Herman HN dan Yusuf Kohar dan menurutnya yang
paling memungkinkan untuk menjembatani adalah Sekretaris Kota (Sekkot) Badri
Tamam dengan alasan peran Sekkot sangat strategis dan memiliki kepentingan
untukmensinergikan persoalan di lapangan.
“ Persoalannya disini tidak
ada pihak ketiga yang bisa mengkomunikasikan hal itu. Legislative agak sulit.
Paling memungkinkan itu pada sasaran praktek penyelenggaraan pemerintahan.
Seharusnya Sekda, karena Sekda itu punya peran yang strategis apalagi dia
memiliki kepentingan untuk mensinergikan poersoalan dilapangan dan idealnya
menjadi penyeimbang,”kata Syarif.
DPRD selaku mitra kerja
eksekutif menurut Syarif tidak mempunyai otoritas secara langsung untuk
mengatur kepala daerah dan wakilnya, namun tidak ada salahnya jika legislatif juga ikut
berperan menjembatani agar terbangun komunikasi politk yang sinergis antara
Walikota dan wakilnya.
“ Bisa saja DPRD menjadi
orang ketiga jika Sekda tidak mapu berperan sepanjang hal itu tidak menyentuh
prinsip dan fungsi legislatif sebagaimana yang di atur dalam undang-undang,”ujarnya.
Konflik yang terjadi
itu,kata Syarif bukan hanya terjadi di Bandar Lampung fenomena itu hampur
terjadi seluruh daerah di Indonesia. Adanya kepentingan pragmatis menjadi salah
satu faktor timbulnya disharmonisasi.(BG)
Pages