BANDAR
LAMPUNG (PeNa)-Dampak negatif adanya reklamasi pantai di Kota Bandar Lampung
bukan hanya berakibat pada lingkungan seperti kerusakan ekosistem laut, namun
sejumlah ekses yang terjadi bahkan sangat berakibat pada kemiskinan sehingga
dengan hilangnya akses dan kontrol terhadap sumber kehidupan serta penghidupan,
yang semakin memiskin-kan masyarakat, akan berdampak lebih pada perempuan, dan
meningkatkan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam rumah tangga maupun
publik.
Efek
jangka panjang yang berkelanjutan dari reklamasi, menurut Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung,
Aramayanti dalam aksi solidaritas peringatan Hari Perempuan Internasional 2017,
akhirnya bermuara terhadap keseteraan gender wanita pesisir dan perlakukan
diskriminatif yang mereka terima dalam pembagian upah.
Dalam Aksinya,
Sebay Lampung mengingatkan Walikota Herman HN bhawa kebijakannya memperpanjang
izin sejumlah kegiatan reklamasi justru hanya menguntungkan pengusaha dan
berdampak memiskinkan wanita pesisir.
"Seperti
perempuan nelayan di Desa Teluk Bone Cungkeng Kota karang, yang terpaksa harus
menjadi buruh pemilih ikan kecil di pulau pasaran dikarenakan terputusnya
sumber-sumber kehidupan dari hasil laut dampak dari reklamasi pantai, selain
itu perempuan pesisir teluk bone juga mengalami diskriminasi perbedaan upah
kerja antara laki-laki dan perempuan padahal jam dan beban kerja diberlakukan
sama. Ini situasi yang benar-benar nyata dan sesuai fakta yang terjadi," tegas
Yanti.
Ketika
suatu pantai itu ditimbun, sambung Armayanti, otomatis ikan akan menjadi
sangat sedikit yang ada di pinggiran pantai. Karena, pada dasarnya akses
perempuan hanya sebatas dari pinggiran atau pertengehan laut, yang terjadi saat
ini mereka harus lebih jauh lagi dalam mencari ikan.
"Ini
kan suatu keterbatasan bagi perempuan, seperti hamil atau suatu halangan lain
seperti reproduksi, jadi mengharuskan mereka tidak bisa mencari ikan lagi.
Bahkan dampaknya bukan hanya sebagai pemilih ikan kecil di Pulau Pasaran,
tetapi ada beberapa nelayan pesisir yang berimigrasi akibat reklamasi
pantai," ujarnya.
Dari
data yang dihimpun oleh Solidaritas Perempuan, Kota Bandarlampung memiliki
garis pantai 27,01km, mulai dari Serengsem Panjang hingga Lempasing,
Teluk Betung. Hampir sebagian pesisir sudah dijadikan proyek reklamasi. Bahkan
pada tahun 2016 ada 10 perempuan teluk bone cungkeng yang kemudian barus bermigrasi
keluar negeri.
Selain
itu, perempuan pesisir yang bekerja menjadi buruh pemilih ikan kecil di Pulau
Pasaran mendapatkan diskriminasi pembagian upah kerja antara lelaki dan
perempuan.
Lelaki
dibayar Rp50 ribu/hari,sedangkan perempuan mendapatkan upah Rp35 ribu/hari.
Begitu juga dengan pembagian jatah makan siang. Lelaki mendapatkan jatah makan
ayam/ikan, sedangkan perempuan dipaksa makan dengan lauk tempe/tahu, sedangkan
beban kerja dan jam kerja diberlakukan sama.
Selain
dari permasalahan reklamasi pantai, kaum perempuan di Desa Tanjung Ratu Ilir,
Kecamatan Way Pengabuan, Lampung utara, juga harus kehilangan lahan untuk
bertani. Kondisi ini semakin meminggirkan dan memiskinkan perempuan.
Untuk
itu, Solidaritas Perempuan, pada momen memperingati hari Perempuan
Internasional ini menyerukan dan mengajak seluruh masyarakat Lampung khususnya
perempuan untuk merebut kembali kedaulatan perempuan atas pangan dari penetrasi
globalisasi.
Perempuan
menolak reklamasi pantai teluk panjang sampai padang cermin, perempuan melawan
perdagangan bebas dan investasi, kembalikan kedaulatan perempuan atas tanah,
dengan mewujudkan reforma agraria berkeadilan gender, perlindungan bagi
perempuan buruh migrant dan keluarganya, Indonesia keluar dari WTO, hentikan
hutang dari luar negeri.(rls)
Pages