Pelaksaan pembangunan gedung DPRD Pringsewu yang molor dari kontrak. Foto diambil tanggal 30/12. foto ist PeNa |
PRINGSEWU (PeNa)-Keterlambatan pelaksaan pembangunan gedung DPRD
Kabupaten Pringsewu yang hingga kemarin masih dikebut, merupakan buntut
kelalaian Dinas Pekerjaan Umum (PU) setempat. Karena hingga kemarin, bangunan
dengan nilai kontrak mencapai Rp24,9 miliar tersebut baru mencapai 70%.
Mirisnya, pemerintah telah mencairkan dana 100% kepada rekanan
PT Manggala Wira Utama sebagai konsekuensi dari kontrak yang berakhir tanggal
26 Desember lalu. Berdasarkan pantauan PeNa, beberapa pekerja masih memasang sebagian
atap bangunan demikian halnya dengan lantai yang belum juga selesai.
Menurut salah seorang pekerja, dirinya belum mendapat perintah
untuk berhenti bekerja sampai pemasangan lantai dan atap rampung. “Saya tidak
tahu menahu kalau tentang umur hari kegiatan ini mas, coba tanya sama pengawas
nya saja. Yang saya tahu, kami pekerja disini belum ada perintah berhenti
bekerja,” kata dia.
Sementara itu, sumber PeNa menjelaskan pemerintah telah
mencairkan dana 100% namun kegiatan itu belum rampung. “Sepertinya dinas telah
mancairkan dana secara keseluruhan mas, tapi pekerjaan belum rampung bisa kita
lihat sendiri kondisinya masih seperti itu. Kalau menurut kontrak tanggal
segini (30 Desember) ya sudah harus putus kontrak,” kata sumber tadi.
Dalam kegiatan tersebut juga dianggarkan dana pengawasa sebesar
Rp399 juta. Artinya, jika dana pengawasan tersebut terserap secara maksimal
terdapat pengawasan yang dapat diduga menyalahi kewenangannya. “Ya kan disitu
juga ada dana pengawasanya, kalau pengawasan lemah artinya pelaksanaan
pembangunan bisa diluar kontrol,” kata dia.
Terpisah, Ketua Masyarakat Transparansi Lampung (Matala),
Charles Alizie menjelaskan, keterlambatan pelaksanaan kegiatan oleh penyedia
barang juga dipengaruhi dari pengawasan kagiatan itu sendiri. Artinya, dengan
pengawasan diperketat maka akan meminimalisir pelanggaran kontrak. “Itu juga
sangat tergantung dari pengawasan teknis kegiatannya yang tentunya harus aktif berkomonikasi
dengan perusahaan penyedia barang,” ujarnya.
Pada Perpres 54/2010 yang diubah terakhir kali dengan Perpres
172/2014 pasal 93 ayat 1 huruf (a) menyebutkan secara tegas, PPK dapat
memutuskan Kontrak secara sepihak apabila kebutuhan barang/jasa tidak
dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak. “Jika itu tidak dilakukan
tentunya ada kesalahan person, saya tidak katakan ini kesalahan sistem karena kegiatan
ini tentunya sudah melalui tahapan perencanaan yang matang ditahun sebelumnya. Terlebih
ini adalah kegiatan multiyears,” tegasnya.
Demikian halnya dengan sangsi yang harus
dipahami, berdasarkan pasal 120 selain perbuatan atau tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1), Penyedia Barang/Jasa yangterlambat
menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan denda
keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai Kontrak atau nilai
bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan.
“Jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak tidak hanya merujuk pada
total waktu pelaksanaan tetapi juga bagian-bagian waktu pelaksanaan yang
tertuang dalam jadwal pelaksanaan pekerjaan. Karena bagian waktu pelaksanaan
atau tahapan pekerjaan adalah juga kesepakatan yang tertuang dalam kontrak.
Dengan demikian yang dimaksud terlambat tidak hanya terlambat terkait
total kontrak tapi juga bagian-bagian kontrak,” kata dia.
Hal tersebut, dijelaskan Alizie, senada
dengan definisi yang tertuang dalam Petunjuk Penanganan Kontrak Kritis,
Pemutusan Kontrak (Terminasi) yang disusun Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional IV disebutkan bahwa Pelanggaran mendasar atas Kontrak termasuk, akan
tetapi tidak terbatas pada penyedia jasa konstruksi terlambat menyelesaikan pekerjaan melampaui jumlah hari yang menghasilkan jumlah denda keterlambatan maksimun yang dapat dibayar oleh
Penyedia jasa konstruksi melampaui batas sebagaimana yang disebutkan dalam data
kontrak.
“Kemudian ketentuan kriteria kesepakatan untuk kondisi suatu kontrak dinilai dalam katagori ‘terlambat’ apabila dalam periode I (rencana pelaksanaan fisik 0%-70%) dari
kontrak terjadi keterlambatan antara 10%-20%. Atau dalam periode II (rencana
pelaksanaan fisik 70%-100%) dari kontrak terjadi keterlambatan progres fisik
antara 0.5%-10%,” jelasnya.
Jika jumlah hari yang menghasilkan jumlah denda keterlambatan maksimun yang dapat dibayar oleh
Penyedia jasa konstruksi melampaui batas sebagaimana yang disebutkan dalam Data
Kontrak maka pemutusan kontrak sepihak dapat dilakukan. Umumnya data kontrak
mengacu pada maksimal jumlah hari keterlambatan 50 hari (pasal 93 Perpres
54/70) atau maksimal denda 5% dari nilai kontrak (UU 18/199 ps. 43 ayat 2). sapto
Pages