Isu suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) menjadi hal yang mudah memicu konflik di Indonesia. Imam Shamsi Ali mengatakan, untuk menjaga kerukunan, Indonesia harus kembali melihat jati dirinya.


"Saya kira yang pertama adalah kita harus kembali melihat jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Jati diri kita ini adalah bangsa yang sopan, santun, ramah, bersahabat, gotong royong, toleransi," kata Imam Shamsi di Masjid Raya Pondok Indah, Jalan Sultan Iskandar Muda, Kebayoran Lama, Jakarta Sealatan, Kamis (26/1/2017) malam.

"Saya kira kalau kita kembali ke jati diri bangsa ini, ini sudah cukup untuk bisa menjalin komunitas yang berbeda dalam tatanan kesatuan Indonesia," sambung Imam Besar Masjid Pusat Islam New York, Amerika Serikat ini.

Imam Shamsi juga pernah menjadi Imam Islamic Center of New York selama 10 tahun, yaitu pada periode 2001-2012. Khusus dalam konteks agama, katanya, harus menjadi motivasi untuk membangun kebaikan. Beragama bukan untuk bermusuhan.

"Bagaimana keyakinan beragama yang berbeda ini kemudian kita jadikan bukan untuk permusuhan. Tapi kita jadikan sebagai motivasi kita untuk membangun kebajikan dan kebaikan. Sehingga kita koneksi hal-hal yang baik," ujarnya.

Ia menambahkan, berbeda pandangan soal teologis ataupun konsep ketuhanan memang tidak dapat dipungkiri atas keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Namun, beragama adalah komitmen untuk membuat kehidupan masyarakat lebih baik.

"Ada saatnya kita proses konsep ketuhanan itu dalam tatanan sosial yang mengajarkan kita untuk sopan, santun, jujur, humble, rendah hati, dan sebagainya," ucap Imam Shamsi.

"Saya kira, Ini yang perlu ditanamkan, bahwa beragama itu bukan mengajarkan kebencian, bukan mengajarkan permusuhan, perpecahan. Tapi beragama mengajarkan rasa cinta, kasih sayang. Dan beragama itu mengajarkan kerja sama antar manusia. Saya kira ini cara untuk bisa mempertahankan toleransi dan kerukunan hidup di Indonesia," tambah pria asal Bulukumba, Sulawesi Selatan ini.
Menurutnya, bila di Indonesia ditemui kasus yang dilandasi oleh sentimen agama, itu hanyalah sebuah kasus. Dan hal tersebut tidak boleh dikaitkan sebagai karakter atas agama tertentu.

Sebab, sejarah sudah mencatat Indonesia sebagai negara yang beragama sejak sebelum merdeka. Dan masyarakat yang tengah menjadi mayoritas selalu memegang nilai kerukunan, toleransi dan gotong royong. Nilai ini melekat dalam karakter masyarakat Indonesia.

"Saya kira, siapapun yang menjadi dominan di negara ini, yang harus kita ke depankan adalah toleransi. Oleh sebab itu, saya kira kita perlu pertahankan sejarah toleransi ini, sehingga masyarakat Indonesia tetap dikenang oleh masyarakat dunia sebagai bangsa toleran," tutur Imam Shamsi.