Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap para hakim dapat lebih memikirkan urgensi pencabutan hak politik seorang terdakwa yang terseret kasus korupsi.

KPK menilai, pencabutan hak politik akan mengurangi kerugian yang timbul akibat terjadinya korupsi yang berulang.
"Kami berharap, Mahkamah Agung terutama memperhatikan fenomena banyaknya aktor politik yang terlibat korupsi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Kamis (5/1/2017).
Menurut Febri, KPK dan MA dapat mencegah kerugian yang lebih besar apabila terpidana dalam kasus korupsi kembali mendapatkan jabatan publik. Apalagi, jika mantan terpidana tersebut terpilih menjadi kepala daerah, dan menjadi bagian dari dinasti politik.
Menurut Febri, pencabutan hak politik sebenarnya alat yang tersedia untuk mencegah kasus korupsi terulang oleh orang yang sama. Pencabutan hak politik merupakan pidana tambahan yang telah diatur undang-undang hukum pidana.
KPK beberapa kali menuntut agar hakim mencabut hak politik seorang terdakwa yang sebelumnya memiliki jabatan publik. Namun, beberapa kali pula tuntutan tersebut tidak dipenuhi.
Sebagai contoh, majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta menolak tuntutan pencabutan hak politik terhadap terdakwa mantan anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti.
Hakim menilai, hak politik sebagai hak asasi manusia setiap warga negara yang tidak dapat dibatasi oleh siapa pun.
Kemudian, hakim juga menolak pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik terhadap terdakwa mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi.
Jaksa KPK kemudian mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi agar hak politik terhadap M Sanusi dicabut.