Komisi Pemberantasan Korupsi terus menangkap sejumlah kepala daerah karena berbagai tindak pidana korupsi yang mereka lakukan, dari ijon proyek hingga jual beli jabatan.
Salah satu kesamaannya adalah mereka menjadi bagian dari dinasti politik di wilayah masing-masing.
Di pengadilan tindak pidana korupsi, dakwaan terhadap mereka terbukti. Vonis bersalah pun dijatuhkan, mulai dari hukuman penjara, membayar ganti rugi atas uang yang mereka korupsi, hingga pidana tambahan, dilarang memegang jabatan publik selama periode waktu tertentu.
Namun, dinasti politik di daerah terus berdiri. Padahal, beberapa kepala daerah yang ditangkap KPK karena menerima suap memang menjadi bagian dari dinasti politik yang berkuasa di daerahnya.
Sebut saja mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron, mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija dan suaminya yang juga mantan Wali Kota Cimahi Itoch Tochija, serta yang paling gres Bupati Klaten Sri Hartini.
Mereka adalah bagian dari dinasti politik di wilayahnya dan kemudian tersandung korupsi.
Dalam catatan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, pada 2013 tercatat 61 kepala dan wakil kepala daerah di Indonesia terindikasi memiliki jaringan politik kekerabatan.
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono, Kamis (5/1), pun menyebutkan, 58 calon kepala dan wakil kepala daerah peserta Pilkada di 101 daerah tahun 2017 ini juga bagian dari dinasti politik.
Peneliti politik ICW, Ade Irawan, menengarai beberapa kesamaan dalam dinasti politik yang terbentuk di Indonesia.
Biasanya ada orang kuat yang mengendalikan anggota keluarga tertentu ke jabatan mana, mengatur proyek, dan penempatan birokrasi.
"Semacam shadow government atau informal government. Dia punya jaringan, uang, dan bisa mengendalikan semuanya," tutur Ade.
Ketika berkuasa, tentu saja seseorang akan memperluas kekuasaan, baik di wilayahnya maupun di lembaga-lembaga lain.
Menurut Ade, hanya satu motif pembentukan dan perluasan dinasti. Menjamin akses terhadap sumber daya ekonomi!
Namun, menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, tak semua politisi yang berasal dari dinasti politik korup. Tentu pendapat Mendagri tak salah.
Namun, pernyataan Lord Acton yang sangat terkenal, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, belum terbantah.
Motif ekonomi menjadi sangat logis untuk politisi yang enggan melepaskan kekuasaannya dengan menyodorkan anggota keluarganya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah R Endi Jaweng juga memperkirakan korupsi dari anggota dinasti politik akan semakin banyak pada 2017.
Sebab, dana transfer daerah meningkat menjadi Rp 764,9 triliun dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 758 triliun.

Transisi demokrasi
Kenyataannya, ujar peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, karakter dinasti politik memang cenderung otoriter, eksploitatif, dan koruptif.
)

Namun, dinasti politik tak lahir tiba-tiba, tetapi muncul dari transisi demokrasi yang tidak dikelola dengan baik dan konsolidasi demokrasi bergerak sangat lambat.
Di masa transisi demokrasi di mana pun, Syarif mengakui, proses yang elitis dan transaksional memang harus diterima.
Sebab, di masa perubahan, hanya elite yang melek politik, sedangkan masyarakat umum masih tertinggal.
Elite, baik pemerintahan, politik, maupun pengusaha, memanfaatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam Pilkada dan memenangi kontestasi dengan membeli dukungan.
Namun, ketika elite partai politik merasa diuntungkan dengan sistem ini, pembiaran terjadi. Lingkaran sirkulasi elite yang semestinya diperluas malah dibiarkan stagnan. Kaderisasi parpol justru mati.
Pendidikan politik masyarakat yang menjadi salah satu fungsi parpol tak jalan. Politik uang terus berlangsung.
Bak penumpang gelap, dinasti politik di daerah-daerah menjamur. Apalagi, dengan desentralisasi, kewenangan berpusat di daerah.
Kekuasaan pun diestafetkan kepada istri, anak, adik, dan kerabat lain. Kontestasi dimonopoli segelintir orang yang sudah memiliki kekuatan ekonomi dan kapital.
Akibatnya, indeks demokrasi Indonesia bisa dikatakan stagnan. Kendati ada kenaikan sedikit pada 2014 menjadi 73,04 dari sebelumnya tahun 2013 hanya 63,68, tahun 2015 tak ada perubahan berarti dengan indeks 72,82 dalam skala 0-100.
Akar persoalan, ujar Syarif, memang di parpol. Tak ada kaderisasi. Oligarki menguat di berbagai lini. Petugas parpol pun kini menduduki jabatan tak hanya di eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif, baik pusat maupun daerah.
Negara semestinya punya otoritas untuk menerbitkan aturan yang "memaksa" parpol menjalankan fungsi-fungsinya, seperti komunikasi politik, sosialisasi politik, kaderisasi politik, dan pemecah konflik.
Tak hanya itu, lanjut Syarif, kelas menengah sebagai bagian dari masyarakat sipil, baik dari kalangan organisasi kemasyarakatan maupun cendekiawan, semestinya menjadi agen pembaru yang mengontrol parpol, mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
Bukan malah partisan atau hanya diam di menara gading. Harapan tentu ada, tetapi apakah parpol dan kelas menengah mau berubah? (NINA SUSILO