Yusril: Langkah Persuasif Harus Diutamakan di Kasus Nurul Fahmi

Kepolisian Daerah Metro Jaya menahan Nurul Fahmi karena diduga membawa bendera merah putih yang ditulisi tulisan arab. Polisi menjerat Nurul Fahmi dengan pasal 66 junto Pasal 24 subsider Pasal 67 huruf c UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara. 

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra meminta, polisi mendahulukan langkah persuasif dalam menangani kasus dugaan pelanggaran terhadap pasal 67 huruf c undang-undang tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.

"Pada hemat saya, polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar Pasal 67 huruf c, sebelum mengambil langkah penegakan hukum," kata Yusril saat berbincang, Selasa (24/1/2017). 

Tindakan persuasif diperlukan lantaran saat ini sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan dapat dipidana. Ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri. 

"Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak," papar Yusril. 

Sehingga, kata Yusril, jika langkah penegakan hukum atau law inforcement dilakukan terhadap Fahmi, tindakan serupa harus dilakukan terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran yang sama. "Bahkan langkah penegakan hukum itu harus pula dilakukan terhadap aparat penegak hukum sendiri yang juga patut diduga melakukan pelanggaran yang serupa," tutur dia. 

Yusril menilai pengenaan pasal 66 UU No 24 Tahun 2009 terhadap apa yang dilakukan Fahmi adalah berlebihan. Pasal 66 tersebut dikenakan terhadap mereka yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara. 

"Fahmi sama sekali tidak melakukan ini. Dia hanya membawa bendera merah putih yang ditulisi kalimat tauhid dan digambari pedang bersilang," tutur Yusril. 

Menurut Yusril, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah Pasal 67 huruf c yakni menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pasal ini adalah hukuman paling lama 1 tahun atau denda Rp 100 juta. 

"Polisi nampak dengan sengaja mengenakan Pasal 66 yang lebih berat kepada Fahmi, padahal itu diduga tidak dia lakukan. Sementara terhadap apa yg dilakukannya, yang seharusnya dikenakan Pasal 67 huruf c, justru dijadikan subsider. Selain membolak-balik pasal dalam kasus Fahmi, tindakan penahanan terhadap Fahmi juga dapat dianggap sebagai tindakan berlebihan," jelas Yusril. 

"Pada hemat saya, polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar Pasal 67 huruf c, sebelum mengambil langkah penegakan hukum," tutup Yusril.