Tertangkapnya 11 bupati dan wali
kota sepanjang tahun 2016 menunjukan masifnya korupsi yang dilakukan kepala
daerah.
Beberapa di antaranya bahkan tercokok
dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, ada dua faktor yang menyebabkan
fenomena itu muncul. Pertama, biaya politik tinggi yang membuat para kepala
daerah terjebak dalam permainan politik uang saat masa pencalonan.
Imbasnya, setelah resmi dilantik
menjadi kepala daerah, mereka terbebani untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah
untuk menutup pengeluaran yang superbesar di saat Pilkada.
Terlebih, kata Agus, saat dana
transfer pemerintah pusat ke daerah sangat besar, bahkan melebihi total dana
yang dianggarkan untuk Kementerian dan Lembaga di level pusat.
Faktor pertama tadi kemudian didukung
oleh faktor kedua, yakni lemahnya sistem pengawasan keuangan daerah.
Wakil Ketua KPK Bidang
Penindakan Alexander Marwata mengatakan, inspektorat daerah yang semestinya
menjadi sistem peringatan dini dalam pemberantasan korupsi di daerah justru tak
berfungsi.
Padahal, sudah menjadi tugas tugas
utama inspektorat dalam mengawasi penggunaan keuangan daerah.
Sebab, selama ini secara struktur,
inspektorat daerah berada di bawah kontrol kepala daerah yang seharusnya mereka
awasi.
"Berkaca pada kasus jual-beli
jabatan di Klaten, jangan-jangan untuk menjadi petinggi di inspektorat daerah
juga harus membeli jabatan," kata Alex dalam rapat kerja bersama Komisi
III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/1/2017).
"Lalu karena secara struktur
berada dalam kontrol kepala daerah, tentu saja kepala daerah akan berpikir buat
apa saya memilih pejabat inspektorat yang nantinya malah menggigit saya,”
ucapnya.
Besarnya dana transfer dari pemerintah
pusat, disertai dengan lemahnya sistem pengwasan keuangan daerah menjadi
peluang besar bagi para kepala daerah untuk melakukan korupsi.
Dana tersebut bahkan berpotensi
menjadi "bancakan" antara kepala daerah, Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD), DPRD, dan pihak swasta selaku pemborong, jika tanpa pengawasan
ketat.
Hal itu terlihat dalam kasus korupsi
yang dilakukan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian yang ditangkap KPK karena
diduga menerima suap terkait proses perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan
proyek pengadaan barang dan jasa Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin.
Dalam menjalankan aksinya, Yan Anton
diduga dibantu oleh sejumlah bawahannya.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi
III DPR Trimedya Panjaitan menyatakan, ada pola yang acap kali digunakan para
kepala daerah dalam menjalankan kejahatan korupsi.
"Biasanya mereka menyebutnya
paket (korupsi). Paket pertama untuk tahun pertama, diberikan hasilnya untuk
tim sukses yang berjasa memenangkannya." kata Trimedya dalam rapat kerja
Komisi III bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/1/2017).
"Tahun kedua dan ketiga untuk
diri sendiri. Tahun keempat dan kelima untuk biaya pencalonan periode
selanjutnya," lanjut Trimedya.
"Apa yang disampaikan Pak
Trimedya itu enggak salah. Itu seperti yang terjadi di Kebumen, tahun pertama
memang diberi kesempatan bagi tim sukses," kata Agus.
Oleh karena itu, Agus berharap, DPR
bisa turut serta menyelesaikan dua penyebab terjadinya korupsi di daerah tadi.
Pertama, kata Agus, perlu adanya
perbaikan dalam penyelenggaraan Pilkada agar
biaya politik tidak besar sehingga para kepala daerah tidak terjebak dalam
lingkaran setan korupsi untuk mengkorupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Kedua, perlu adanya penataan ulang
terkait keberadaan inspektorat di daerah sehingga tidak menjadi alat legalisasi
bersihnya pengelolaan keuangan oleh kepala daerah.
Menanggapi fenomena tersebut, Direktur
Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengusulkan adanya revisi peraturan
terkait leberadaan lembaga inspektorat di daerah.
“Selama ini kan mereka berada di bawah
kendali kepala daerah yang semestinya mereka awasi. Harusnya secara struktur
mereka bisa menjadi badan independen sehingga bisa secara maksimal mengawasi
pengelolaan keuangan daerah,” kata Roy saat dihubungi, Rabu (18/1/2017) malam.
Pages