Komisi III DPR akan rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung (MK) siang ini. Salah satu pokok bahasan yakni fungsi pengawasan terhadap MK pasca tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar.

"Sekarang dewan etik sudah ada, eksistensi nya kita sebut ad hoc karena personel dan anggaran terbatas. Kebetulan Komisi III akan rapat konsultasi dengan MK dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan akan menjadi pokok bahasan," ujar Anggota Komisi III DPR Arsul Sani kepada wartawan, Senin (30/1/2017).

Pertemuan akan dilangsungkan di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pukul 14.00 WIB. Pimpinan Komisi III akan bertandang langsung ke MK.

Salah satu hal yang menjadi sorotan di tubuh MK adalah proses seleksi dan pengawasan hakim konstitusi. DPR akan menunggu naskah akademik dan draf revisi UU MK dari pemerintah karena termasuk dalam Prolegnas prioritas 2017.

"Saya kira hal-hal yang dirasakan dari kalangan masyarakat, harus diselesaikan di revisi UU MK yang masuk Prolegnas prioritas 2017. Karena revisi ini inisiatif pemerintah, posisi DPR menunggu naskah akademik dan draf dari pemerintah. Tentu nanti dalam kesempatan rapat dengar pendapat dengan Menkum HAM berikutnya, kita akan desak ini karena memang sekarang MK sedang mendapat sorotan," ujar pria yang menjabat sebagai sekjen PPP ini.

"Ini kan seleksi yang terjadi untuk 3 jalur berbeda. DPR sistem sendiri, presiden sistem sendiri, dan MA sistem sendiri. Walaupun saya catat, zaman Presiden Jokowi ada proses yang lebih baik ketika pemerintah memutuskan memilih Palguna itu proses melalui pansel yang transparan. Saya kira model itu, kemudian bisa juga diangkat normanya sebagai ketentuan UU," lanjutnya.

Mengenai wacana pembatasan calon hakim MK dari bekas politikus, Arsul mengatakan hal tersebut dapat menjadi salah satu pertimbangan. Tetapi, dia mengajak kepada masyarakat agar tidak langsung berburuk sangka kepada politikus yang menjadi hakim MK.

"Itu juga bisa menjadi pertimbangan, tapi jangan suuzon kalau yang dari politisi itu brengsek. Buktinya Pak Mahfud MD baik-baik saja," tegasnya.

Selain proses seleksi, pengawasan terhadap kinerja hakim MK juga perlu dibicarakan. Arsul juga berharap saat disusun uji materi mengenai revisi UU MK sebaiknya dengan hakim ad hoc.

"Saya kira harus kita atur, kalau ada uji materi tentang MK atau UU MK yang memutuskan, jangan hakim tetap. Mungkin perlu dibentuk hakim ad hoc khusus yang menyangkut MK. Sebab ada prinsip itu, hakim tidak boleh mengadili perkara sendiri," ujar Arsul.

Pengawasan terhadap MK menjadi sorotan setelah KPK menetapkan Patrialis Akbar sebagai tersangka kasus dugaan suap. KPK menduga Patrialis Akbar menerima hadiah atau janji senilai USD 200 ribu dan SGD 200 ribu. KPK turut menyita dokumen pembukuan perusahaan, catatan-catatan dan aspek lain yang relevan dengan perkara, voucher pembelian mata uang asing, dan draf putusan perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 yang merupakan nomor perkara uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi.

Mereka yang dijadikan tersangka dalam kasus ini adalah Patrialis Akbar dan Kamaludin, selaku penerima suap. Kamaludin merupakan perantara dalam kasus ini. Sedangkan dua orang lain yang menjadi tersangka adalah Basuki Hariman dan Ng Feny selaku penyuap.

Sebelumnya, Ketua MK Arief Hidayat menyebut pihaknya siap disadap KPK. "Dan sudah saya katakan HP kami itu sudah pasti disadap oleh KPK dan kami juga mempersilakan KPK untuk menyadap," ujar Arief di Gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (26/1) lalu.